Sejarah hortikultura di indonesia
Kehadiran buah-buahan di dalam menu sehari-hari bangsa kita sudah dikenal
sejak zaman dahulu. Pada awalnya, buah-buahan seperti durian, duku, langsat,
manggis, dan sebagainya, tumbuh liar tanpa banyak campur tanga manusia.
Demikian pula halnya dengan berbagai jenis pohon-pohonan, baik yang berfungsi
sebagai peneduh (sawo kecik, ketapang, dadap, waru), penghasil sayuran
(melinjo, keluwih, nangka), ataupun penghasil buah (rambutan, kelengkeng,
jeruk).
Dengan masuk dan menetapnya orang-orang Eropa ke Indonesia, maka
dikembangkanlah sayuran dataran tinggi, seperti tomat, kentang, kubis, wortel,
dan lain-lain; serta juga bunga-bunga khas Eropa, seperti mawar, glidol,
anyelir, dan garbera. Pengembangan tanaman tersebut terdapat di indonesia
terutama di Bandung (Pengalengan dan Lembang), Wonosoba (Dieng), Yogyakarta
(Kaliurang), semarang (Bandungan dan Kopeng), Malang (Punten dan Pujon),
Tengger (Nangkajajar, Tosari dan Ngadisari) Sulawesi Selatan (Malino), Bali
(Budugul), dan Karo (Brastagi).
Sementara itu, dalam hal buah-buahan tidak banyak buah-buah daerah
subtropis yang masuk ke indonesia, kecuali kesemek. Dengan peningkatan perdagangan di zaman
kolonial, sejumlah buah-buahan telah diekspor, misalnya pisang Banyuwangi di
ekspor ke Australia. Pada masa itu, para ahli bangsa Belanda sudah mulai
mempelajari syarat-syarat ekologi tanaman buah-buahan Indonesia. Setelah masa
perang, kebanyakan para ahli tersebut keluar dari Indonesia dan mengembangkan pengetahuan
mereka di Florida hingga ke California.
Sementara ilmu hortikultura, terutama buah-buahan, di indonesia tidak
bertambah.
Setelah kemerdekaan, pola pengembangan tanaman hortikultura masih
melajutkan cara Belanda dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Sementara itu,
kenaikan pendapatanper kapita masyarakat akibat “boom” minyak membuat konsumsi
sayuran dan buah-buahan cukup tinggi. Hal ini beerdampak pada meningkatnya
impor buah-buahan seperti apel, jeruk orange, dan anggur. Namun, pada saat yang
bersamaan pembinaan dan pengembangan pertaniandi indonesia sedang difokuskan
pada swasembada pangan, khususnya beras, sehingga perhatian untuk pengembangan
hortikultura sangat kecil. Di samping itu, sejak tahun1960 banyak areal
pertanaman jeruk terserang penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration).
Sampai dengan tahun 1981 diperkirakan 10 juta pohon jeruk terserang penyakit
ini dengan kehilanganproduksi sekitar 10.000 ton buah segar per tahun. Daerah
yang mendapat serangaan berat adalah Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Laampung,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Setelah tercapainya swasembada pangan dan kurangnya perhatian akan
pengembangan hortikultura mulai disadari, muncullah kebijaksanaan
pemerintahuntuk membatasi impor buah-buahan pada tahun 1981. Hal ini
berbarengan dengan meningkatnya apresiasi terhadap buah –buahan tropis (mangga,
manggis, avokad, nanas, dan rambutan) di Eropadan di negara-negara maju. Pada
waktu yang bersamaan pula di dalam negeri sedang dilanda demam jaambu Bangkok,
pepaya bangkok, durian bangkok, dan buah-buahan
Lain yang serba “bangkok”. Dengan demikian, dimulailah agribisnis di
bidang buah-buahan untuk tujuan ekspor, misalnya dalam bentuk jus (mangga,
markisa, jambu biji), buah segar (manggis, rambitan), dan buah kalengan
(nenas).
Berkembangnya pariwisata, perhotelan, dan restoran-restoran cepat saji
(fast food) gaya Amerika, Jepang, dan Korea serta bermunculannya supermarket
(pasar swalayan) menyebabkan sayur-sayuran tertentu yang dulunya belum penting
(misalnya jagung manis, brokoli, timun jepang, selada, jamur) mendapatkan pasaran
yang cukup baik. Konsumsi sayuran tidak lagi tergantung pada menu Cina dan
Eropa yang selama ini dikenal, namun
dengan berkembangnya sayur asem dan lalap-lalapan di restoraan-restoran dan
tempat-tempat pesta yag berdampak pada meningkatnya permintaan aka produk
sayuran seperti labu siem dan daun-daunan. Seiring dengan itu, berkembanglah
usaha sayuran berpola agribisnis dengan teknologi canggih seperti budidaya
hidroponik (misalnya tomat, kangkung, bayam) serta pemanfaatan teknik kultur
jaringan untuk perbanyakan tanaman (misalnya kentang). Di samping itu, untuk
memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dilakukan intensifikasi dan diversifikasi
pekarangan, terutama dengan jenis-jenis sayuran yang bernilai gizi tinggi
(misalnya bayam, kangkung, katuk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar